Senin, 14 Desember 2009

Kepolosan Anak-anak

KEPOLOSAN ANAK-ANAK



Di dalam proses pertumbuhan manusia, seiring dengan umur yang bertambah setiap tahun, suasana hati juga kian rumit. Kesadaran setelah lahir dan konsep yang telah berubah berangsur-angsur terbentuk di dalam masyarakat serta terkontaminasi oleh berbagai macam kebiasaan yang kurang baik, hal tersebut sedikit demi sedikit tanpa terasa telah merongrong kemurnian dan kebaikan pembawaan kita sejak lahir. Masa kanak-kanak yang bagaikan emas itu telah berlalu menjadi kenangan, sifat kepolosan bagaikan air dari kanak-kanak itu juga sirna bersama.

Hari demi hari, tahun demi tahun, waktu berlalu bagaikan air yang sedang mengalir, jika tidak ada jodoh dengan kultivasi, orang tidak akan mengenal arti sesungguhnya dari kehidupan, maka seiring dengan waktu, kemurnian dan ketulusan dari manusia itu akan hilang untuk selama-lamanya.

Masyarakat orang awam kebanyakan terganggu oleh nama dan keuntungan, merasa cemas akan untung rugi pribadi, sibuk setiap hari, kian hari kian apatis, berangsur-angsur mengikis habis ketulusan dan kemurnian yang pada awalnya eksis itu.

Kebanyakan orang sibuk dengan membabi buta di dalam ketidak-mengertian, tak henti-hentinya mencari kebahagiaan kian kemari, tetapi justru telah memandang hambar dan melupakan ketulusan dan kemurnian hati yang pernah dimiliki, melupakan bahwa memiliki hati tulus dan murni yang sederhana merupakan suatu hal yang paling menggembirakan.

Teringat semasa kecil dulu, ada seorang anak gadis cilik yang merupakan anak tunggal tetangga saya. Setiap hari ia berjalan kaki pergi ke sekolah. Pada suatu pagi hari cuaca kurang baik, awan berangsur-angsur menjadi tebal, hingga sore hari ketika pulang sekolah angin mulai bertiup kencang, tak lama kemudian muncul petir dan suara halilintar di atas angkasa, kelihatannya segera akan turun hujan lebat.

Ibu gadis itu sangat khawatir anak gadisnya menjadi ketakutan karena gelegar petir, bahkan khawatir anaknya akan tersambar petir, maka dia bergegas membawa payung dan jas hujan menelusuri jalanan yang setiap hari dilalui oleh anak gadisnya ke sekolah untuk mencari anaknya.

Ketika ibu yang penuh kecemasan ini menjumpai anak gadisnya, ia melihat anak gadis itu berekspresi tenang-tenang, dengan sangat santai berjalan di jalanan. Dan setiap kali ketika muncul kilatan di atas langit, gadis kecil itu akan menghentikan langkah kaki, mengangkat kepala menengok ke atas langit serta menampilkan senyuman.

Ibu tersebut melihat pemandangan ini menjadi sangat heran sekali, tak tertahankan dia memanggil anak gadisnya dan bertanya, "Apa yang sedang kamu lakukan?". Dengan bersungguh-sungguh gadis kecil itu menjawab, "Tadi langit hendak memotret diriku, maka saya harus menampilkan senyuman!"

Setelah pulang sampai di rumah, ibu tersebut dengan sangat serius berkata pada anak gadisnya itu, "Keadaan seperti tadi itu sangatlah berbahaya, lain kali kesempatan jika kamu menjumpai petir dan halilintar lagi, kamu harus segera berlari pulang ke rumah".

Dengan nada tidak terima, anak gadis itu menjawab, "Nenek pernah bertutur kepada saya, petir dan halilintar hanya menyambar orang-orang jahat, bukan orang yang baik. Saya adalah orang baik, saya tidak takut. Orang jahatlah yang seharusnya takut! Mengapa saya harus seperti orang dewasa bergegas-gegas pulang ke rumah? Saya bisa berjalan ke rumah dengan santai".

Dari sini terlihat nyata sekali, hati anak gadis kecil ini polos bagaikan air, oleh karena kesederhanaan dan keelokan ini, maka dia hidup jauh lebih gembira dan santai jika dibandingkan dengan ibunya.

Jika dipikir secara teliti, bagi orang yang benar-benar jahat walaupun berlari sangat kencang pun, dia tidak akan bisa menghindari hukuman tersambar oleh petir, karena orang baik berhati murni, mengapa dia tidak boleh berjalan santai pulang ke rumah?

Kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu sungguh sangat beralasan sekali! Seseorang jika benar bisa mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian alami, maka dapat dipastikan bahwa kehidupannya akan sangat gembira dan santai, jauh dari segala kerisauan! (The Epoch Times/lin)

Sumber :http://erabaru.net

 
 

Minggu, 13 Desember 2009

Bersyukurlah... Mereka masih banyak di bawah Qta...

Bersyukurlah... Mereka masih banyak di bawah Qta...

Siang itu, matahari bersinar dengan teriknya. Kuusap kucuran peluh yang melalui sudut keningku. Panas sekali siang ini. Hingga tisu-tisu yang kubawa habis menyeka keringat. Hufh, udara Bandung panas sekali! Aku pun terus menggerutu.

Perut sudah keroncongan. Lalu, kuambil roti coklat yang sengaja kubeli dari sebuah minimarket. Semoga bisa mengganjal sang perut yang sedang kelaparan. Kulahap potongan pertama. Argh, tidak enak! Aku buang roti itu ke pinggir jalan. Tak lama kemudian, aku menggerutu lagi.  Betapa menyebalkan hari ini. Sudah panas, lapar pula! Ah, menyebalkan!

Aku pun terus berjalan sambil mengeluh akan apa yang ku alami. Hingga aku melihat seorang nenek tua yang sedah membuka sebuah bungkusan yang dipungutnya dari tong sampah. Hah, ia memakan sampah?! Aku heran dan aku pun mengamati nenek tua itu dalam-dalam. Dan lebih mengherankan lagi, di belakangnya ada kucing-kucing mungil yang duduk manis mengitarinya. Apakah kucing-kucing itu miliknya? Aku tak tahu jelas. Kupandang lagi sorot mata senjanya penuh iba. Ah, aku jadi malu pada nenek itu. Ia makan dari tempat yang tak layak, makanan dari tong sampah. Tapi, ia begitu menikmatinya. Sedangkan aku... Tak sedikit pun menikmati makanan yang kumiliki, padahal roti coklat itu kubeli dengan harga yang cukup mahal. Seketika itu, hatiku terhanyut dalam renungan...


Betapa jarang aku bersyukur... Hal sekecil itu pun, aku lalai dari syukur-Nya...
Aku malu... Malu pada nenek tua yang masih memiliki rasa syukur...
Sungguh, aku malu...
Malu pada Rabbku yang selalu memberiku nikmat, tapi aku sering lalai tuk mensyukuri-Nya
Ampuni aku Ya Allah...
Rasa syukur ini harus tetap tumbuh dalam hati. Dalam hati seorang hamba yang dhaif dan khilaf.

Renungan dari  Ketika Menyusuri Taman Ganesa